1. Masyarakat dan Kebudayaan
Yogyakarta
Kebudayaan
Yogyakarta dalam perspektif sejarah tidak dapat dipisahkan dari rangkaian
perjalanan sejarah dari kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, dan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Peradaban keagamaan yang mewarnai adalah peradaban
Hindu, Buddha, dan Islam, yang menyatu dengan peradaban asli. Peradaban lain di
luar keagamaan tersebut, masuk bersama dengan kedatangan berbagai bangsa:
Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Cina, Mongolia, Jepang, dan Arab.
Assosiasi,
assimilasi, dan akulturisasi peradaban dan kebudayaan terjadi selama ratusan
tahun, bersamaan dengan perkembangan kerajaan mulai dari kerajaan Mataram pada
jaman Panembahan Senopati, Sultan Agung, sampai dengan kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat mulai dengan Hamengku Buwono I (anti penjajahan) dan seterusnya IX
dan X. Assosiasi, assimilasi, dan akulturisasi inilah yang menjadi modal watak
budaya Yogya yang khas, yakni “guyub, rukun, toleran, adaptif, dan akomodatif,
tetapi anti penjajahan”. Antara kebudayaan kraton (yang berorientasi pada
rakyat), dengan kebudayaan rakyat (yang hormat kepada kraton). Perkembangan
kebudayaan Yogya yang dinamis tidak terlepas dari peranan perguruan tinggi di Yogya
yang berinteraksi secara dinamis dengan berbagai sumber ilmu, teknologi, dan
demokrasi.
Pengalaman
dalam perjuangan kemerdekaan memberi warna tersendiri bagi watak kebudayaan Yogya:
rela berkorban bagi kemerdekaan dan kehidupan bangsa (teladan Hamengku Buwono
IX, dan pemimpin bangsa lainnya). Landasan kpemikiran pengembangan perguruan
tinggi di Yogyakarta tidak dapat
dilepaskan dengan kebijakan yang ditanamkan oleh Hamengku Buwono IX (pada
pendirian Universitas Gadjah Mada) yang menekankan bahwa UGM harus menjadi
tempat pendidikan Bangsa Indonesia dari Sabang-Merauke sebagai konsekuensinya Hamengku
Buwono IX menyerahkan sebagian sultan-ground (lahan milik kraton) dan
bahkan sebagian bangunan kraton (pagelaran, mangkubumen dsb) sebagai tempat
kuliah. Kebijakan ini berlanjut untuk berbagai perguruan tinggi lain yang
kemudian berkembang di Yogyakarta. IKIP
Yogyakarta (yang kemudian menjadi UNY), IAIN (kemudian menjadi UIN), dan
beberapa perguruan tinggi swasta lain menjadi pemicu bagi perkembangan
pendidikan tinggi di Yogyakarta.
2.
Modal
Pendidikan di Yogyakarta
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa modal utama pendidikan di Yogyakarta bersumber dari pendidikan di lingkungan kraton yang berimbas
ke dalam masyarakat. Pengaruh para raja (Hamengku Buwono I s/d X) sangat
terasa sentuhannya dan sampai saat ini masih menjadi dasar bagi pengembangan
pendidikan yang bersumber pada kebudayaan. Pendidikan yang berdasar pada ajaran dan pemikiran Ki Hadjar Dewantoro, yang kemudian disebut sebagai ajaran taman siswa, merupakan
modal yang ikut mewarnai kehidupan masyarakat pendidikan. Rektualisasi
sistem pendidikan taman siswa sedang banyak dipikirkan oleh ahli-ahli
pendidikan taman siswa, terutama pengembangan nilai kebudayaan dan kebangsaan. Modal
pendidikan lain yang tidak kalah dengan dua modal tersebut di atas adalah
sekolah-sekolah Muhammadiyah dari TK s/d PT, yang memasukkan ke-islaman secara
terpadu dalam sistem pendidikan sekolah umumnya. Jumlah sekolah-sekolah ini sangat signifikan
di Yogyakarta. Modal pendidikan lain
yang ada di Yogyakarta
adalah model pendidikan pondok pesantren dari yang sifatnya asli (tradisional)
sampai yang modern (yang mengintegrasikan dengan pendidikan umum dan
kejuruan). Sifat khas dan pola pendidikan yang dikembangkan mewarnai pola pemikiran
santri dan alumninya. Modal pendidikan yang tidak dapat diabaikan dan masih berlangsung di
kalangan kristiani (kristen dan katholik) adalah model pendidikan modern akan
tetapi yang masih menggunakan asas kebudayaan lokal. Sekolah-sekolah
kristen dan katholik juga berkembang dari TK s/d PT. Modal
pendidikan lain yang sempat menjadi ikon pendidikan di Yogyakarta adalah pendidikan yang berorientasi pada pembentukan
profesionalitas yang sangat beragam, mulai dari profesi yang berbasis ekonomi,
teknik, komputer, dan bidang-bidang lain. Bermula dalam bentuk akademi, kemudian menjadi sekolah tinggi atau
politeknik.
Tiga
perguruan tinggi negeri yang menjadi tiang pancang utama yang menjaga arah dan
kualitas pendidikan tinggi di Yogyakarta adalah UGM, UNY, dan UIN Sunan Kalidjogo.
UGM seperti diketahui menjadi satu wakil
utama di deretan perguruan tinggi dunia yang termasuk 100 kategori universitas yang baik, dan saat ini
merupakan universitas yang terbanyak program studinya di Indonesia. Dari seni,
humaniora (soft sciences) sampai bidang hard sciences dan
teknologi. UNY sampai saat
ini tetap menjadi salah satu unggulan dalam bidang pendidikan guru di Indonesia. Sejak mendapatkan wider mandate dari pemerintah, UNY mengembangkan juga berbagai program studi non-kependidikan yang
dimaksud untuk menjadi penguat dan pendukung bagi berbagai program pendidikan
gurunya. UIN Sunan Kalidjogo, diketahui sebagai salah satu UIN yang menjadi pelopor bagi pengembangan berbagai ilmu keagamaan yang
diintegrasikan dengan berbagai ilmu humaniora.
Perguruan
tinggi swasta yang berkembang di DIY, cukup punya bobot keilmuan: UAD
(Universitas Ahmad Dahlan), UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta),
Universitas Atmajaya (Katholik), UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana), UII
(Universitas Islam Indonesia), Universitas Sanata Dharma (katholik),
Universitas PGRI, UPN, UNKRIS, Janabadra, Wangsa Manggala, Widya Mataram, dan
beberapa perguruan tinggi swasta lain. Jaringan kerja sama dalam dan luar
negeri yang dilakukan oleh masing-masing perguruan tinggi maupun atas inisiatif
pemerintah daerah maupun pusat, memberi warna tersendiri bagi pengembangan
pendidikan di Yogyakarta. Sikap budaya masyarakat Yogyakarta yang akomodatif, guyup
rukun, dan penuh toleransi terhadap para pendatang dari luar Yogyakarta
maupun luar negeri, sangat membantu memberikan corak yang khas bagi pendidikan
di Yogyakarta.
3.
Interaksi Mahasiswa
Interaksi
dan komunikasi antar mahasiswa bisa memberikan corak interaksi pengetahuan dan
ilmu, dan interaksi sosial-budaya. Mahasiswa dapat berintaraksi dengan
masyarakat secara langsung atau melalui forum-forum tertentu, yang umumnya
memberi corak sikap, moral, dan nilai. Interaksi mahasiswa dengan berbagai
informasi baik ilmiah maupun informasi kehidupan, mematangkan sikap mahasiswa
baik dalam berbagai persoalan kehidupan maupun persoalan sosial, politik, dan
kebudayan. Interaksi dan komunikasi antar etnik memberikan peluang untuk
menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan dan mengembangkan sikap toleran dan
pemahaman positif, dan mengurangi prasangka antar komunitas. Semua yang dialami
tersebut pada dasarnya adalah bentuk soft skill yang kadang justru tidak
dikembangkan dalam kuliah.
4.
Kelebihan -
Kelebihan
Peluang untuk mengembangkan nilai-nilai ke-indonesiaan (sebagaimana yang di cita-citakan oleh Hamengku
Buwono IX), belajar di Yogyakarta
mendapat peluang belajar tentang Indonesia.
Peluang untuk memperoleh acuan-acuan
internasional dengan menggunakan jaringan ilmu dan pengetahuan internasional
yang ada di Yogyakarta
(tiap program studi memiliki peluang untuk mengembangkan akses jaringan ini).
Suasana
akomodatif dan penuh toleransi memberikan jaminan suasana belajar yang
kondusif. Interaksi yang dinamis antar mahasiswa dari berbagai bidang ilmu,
memberi peluang untuk mematangkan wawasan berpikir dan meningkatkan kecakapan
hidup. Interaksi yang positif dengan masyarakat Yogyakarta akan menumbuhkan
nilai dan sikap kemasyarakatan yang positif. Ada banyak kiat mahasiswa untuk
hidup efisien di Yogyakarta, tanpa harus mengurangi kualitas hidupnya.
5.
Kekurangan dan Ancaman
Ada banyak
isu negatif yang berkembang tentang kehidupan mahasiswa di Yogyakarta yang
menakutkan orang tua untuk mengirim anaknya ke Yogyakarta seperti: isu narkoba,
isu kumpul kebo, isu mahalnya pendidikan, isu bahaya merapi dan gempa, dan
berbagai isu negatif lainnya. Kekurangan yang segera terasa bagi mahasiswa dari
luar adalah keterbatasan tempat tinggal, yang hanya dapat diperoleh melalui
upaya yang cukup berat (memilih daerah yang baik, tidak mahal, dan cukup
kondusif untuk belajar).
Ancaman
kondisi lingkungan yang terletak di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, yang
adakalanya diperberat karena pemahaman yang keliru tentang dua ancaman
tersebut. Kecenderungan jumlah mahasiswa sejumlah perguruan tinggi yang
menurun, yang dapat mengancam bangkrutnya perguruan tinggi yang bersangkutan.
6.
Solusi
Mengkaji
dan mendalami akar peradaban kehidupan manusia di Yogyakarta yang berbasis pada
kebudayaan, menemukan mutiara luhur yang dapat digunakan untuk memecahkan
berbagai persoalan kehidupan. Membuka peluang
kebersamaan antar institusi pendidikan dengan membentuk komite rekonstruksi
pendidikan (KRP) DIY, untuk menumbuhkan semangat resource sharing fasilitas dan
sumberdaya pendidikan dan efisiensi manajemen antar institusi pendidikan. Kredo yang digunakan KRP DIY adalah: sawiji
(konsentrasi), greget (semangat), sengguh (percaya diri),
ora mingkuh (tidak mundur). Menyusun strategi pengembalian citra DIY sebagai propinsi pendidikan, dengan KRP sebagai sumber inspirasi pengembangan pendidikan yang lebih baik, mengedepankan budaya “kita” lebih dari pada budaya “aku-kami”.
Yogyakarta
memiliki modal pendidikan yang menjadi kekuatan riil untuk mengembangkan mutu
pendidikan yang lebih mantab dan sesuai dengan cita-cita proklamasi Bangsa Indonesia.
Yogyakarta memiliki kapasitas secara obyektif untuk menyerap berbagai
perkembangan ilmu mutakhir termasuk bioteknologi, dan berbagai implementasi ICT
pada berbagai program pendidikan dan pelatihan. Yogyakarta memiliki akar budaya
yang mampu mengakomodasi berbagai budaya lain melalui assimilasi, assosiasi,
dan akulturisasi sebagai bentuk proteksi dinamis terhadap budaya lokal.
By : Makrus Rifai
The student of Yogyakarta State University