Kamis, 28 Juni 2012

DINAMIKA KULIAH DI YOGYAKARTA


1.    Masyarakat dan Kebudayaan Yogyakarta
Kebudayaan Yogyakarta dalam perspektif sejarah tidak dapat dipisahkan dari rangkaian perjalanan sejarah dari kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Peradaban keagamaan yang mewarnai adalah peradaban Hindu, Buddha, dan Islam, yang menyatu dengan peradaban asli. Peradaban lain di luar keagamaan tersebut, masuk bersama dengan kedatangan berbagai bangsa: Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Cina, Mongolia, Jepang, dan Arab. 
Assosiasi, assimilasi, dan akulturisasi peradaban dan kebudayaan terjadi selama ratusan tahun, bersamaan dengan perkembangan kerajaan mulai dari kerajaan Mataram pada jaman Panembahan Senopati, Sultan Agung, sampai dengan kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat mulai dengan Hamengku Buwono I (anti penjajahan) dan seterusnya IX dan X. Assosiasi, assimilasi, dan akulturisasi inilah yang menjadi modal watak budaya Yogya yang khas, yakni “guyub, rukun, toleran, adaptif, dan akomodatif, tetapi anti penjajahan”. Antara kebudayaan kraton (yang berorientasi pada rakyat), dengan kebudayaan rakyat (yang hormat kepada kraton). Perkembangan kebudayaan Yogya yang dinamis tidak terlepas dari peranan perguruan tinggi di Yogya yang berinteraksi secara dinamis dengan berbagai sumber ilmu, teknologi, dan demokrasi. 
Pengalaman dalam perjuangan kemerdekaan memberi warna tersendiri bagi watak kebudayaan Yogya: rela berkorban bagi kemerdekaan dan kehidupan bangsa (teladan Hamengku Buwono IX, dan pemimpin bangsa lainnya). Landasan kpemikiran pengembangan perguruan tinggi di Yogyakarta  tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan yang ditanamkan oleh Hamengku Buwono IX (pada pendirian Universitas Gadjah Mada) yang menekankan bahwa UGM harus menjadi tempat pendidikan Bangsa Indonesia dari Sabang-Merauke sebagai konsekuensinya Hamengku Buwono IX menyerahkan sebagian sultan-ground (lahan milik kraton) dan bahkan sebagian bangunan kraton (pagelaran, mangkubumen dsb) sebagai tempat kuliah. Kebijakan ini berlanjut untuk berbagai perguruan tinggi lain yang kemudian berkembang di Yogyakarta.  IKIP Yogyakarta (yang kemudian menjadi UNY), IAIN (kemudian menjadi UIN), dan beberapa perguruan tinggi swasta lain menjadi pemicu bagi perkembangan pendidikan tinggi di Yogyakarta.                                                
2.     Modal Pendidikan di Yogyakarta
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa modal utama pendidikan di Yogyakarta bersumber dari pendidikan di lingkungan kraton yang berimbas ke dalam masyarakat.  Pengaruh para raja (Hamengku Buwono I s/d X) sangat terasa sentuhannya dan sampai saat ini masih menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan yang bersumber pada kebudayaan. Pendidikan yang berdasar pada ajaran dan pemikiran Ki Hadjar Dewantoro, yang kemudian disebut sebagai ajaran taman siswa, merupakan modal yang ikut mewarnai kehidupan masyarakat pendidikan.  Rektualisasi sistem pendidikan taman siswa sedang banyak dipikirkan oleh ahli-ahli pendidikan taman siswa, terutama pengembangan nilai kebudayaan dan kebangsaan. Modal pendidikan lain yang tidak kalah dengan dua modal tersebut di atas adalah sekolah-sekolah Muhammadiyah dari TK s/d PT, yang memasukkan ke-islaman secara terpadu dalam sistem pendidikan sekolah umumnya.  Jumlah sekolah-sekolah ini sangat signifikan di Yogyakarta. Modal pendidikan lain yang ada di Yogyakarta adalah model pendidikan pondok pesantren dari yang sifatnya asli (tradisional) sampai yang modern (yang mengintegrasikan dengan pendidikan umum dan kejuruan).  Sifat khas dan pola pendidikan yang dikembangkan mewarnai pola pemikiran santri dan alumninya. Modal pendidikan yang tidak dapat diabaikan dan masih berlangsung di kalangan kristiani (kristen dan katholik) adalah model pendidikan modern akan tetapi yang masih menggunakan asas kebudayaan lokal.  Sekolah-sekolah kristen dan katholik juga berkembang dari TK s/d PT. Modal pendidikan lain yang sempat menjadi ikon pendidikan di Yogyakarta adalah pendidikan yang berorientasi pada pembentukan profesionalitas yang sangat beragam, mulai dari profesi yang berbasis ekonomi, teknik, komputer, dan bidang-bidang lain. Bermula dalam bentuk akademi, kemudian menjadi sekolah tinggi atau politeknik.
Tiga perguruan tinggi negeri yang menjadi tiang pancang utama yang menjaga arah dan kualitas pendidikan tinggi di Yogyakarta adalah UGM, UNY, dan UIN Sunan Kalidjogo. UGM seperti diketahui menjadi satu wakil utama di deretan perguruan tinggi dunia yang termasuk 100 kategori universitas yang baik, dan saat ini merupakan universitas yang terbanyak program studinya di Indonesia. Dari seni, humaniora (soft sciences) sampai bidang hard sciences dan teknologi. UNY sampai saat ini tetap menjadi salah satu unggulan dalam bidang pendidikan guru di Indonesia.  Sejak mendapatkan wider mandate dari pemerintah, UNY mengembangkan juga berbagai program studi non-kependidikan yang dimaksud untuk menjadi penguat dan pendukung bagi berbagai program pendidikan gurunya. UIN Sunan Kalidjogo, diketahui sebagai salah satu UIN yang menjadi pelopor bagi pengembangan berbagai ilmu keagamaan yang diintegrasikan dengan berbagai ilmu humaniora.
Perguruan tinggi swasta yang berkembang di DIY, cukup punya bobot keilmuan: UAD (Universitas Ahmad Dahlan), UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Universitas Atmajaya (Katholik), UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana), UII (Universitas Islam Indonesia), Universitas Sanata Dharma (katholik), Universitas PGRI, UPN, UNKRIS, Janabadra, Wangsa Manggala, Widya Mataram, dan beberapa perguruan tinggi swasta lain. Jaringan kerja sama dalam dan luar negeri yang dilakukan oleh masing-masing perguruan tinggi maupun atas inisiatif pemerintah daerah maupun pusat, memberi warna tersendiri bagi pengembangan pendidikan di Yogyakarta. Sikap budaya masyarakat Yogyakarta yang akomodatif, guyup rukun, dan penuh toleransi terhadap para pendatang dari luar Yogyakarta maupun luar negeri, sangat membantu memberikan corak yang khas bagi pendidikan di Yogyakarta.
3.    Interaksi Mahasiswa
Interaksi dan komunikasi antar mahasiswa bisa memberikan corak interaksi pengetahuan dan ilmu, dan interaksi sosial-budaya. Mahasiswa dapat berintaraksi dengan masyarakat secara langsung atau melalui forum-forum tertentu, yang umumnya memberi corak sikap, moral, dan nilai. Interaksi mahasiswa dengan berbagai informasi baik ilmiah maupun informasi kehidupan, mematangkan sikap mahasiswa baik dalam berbagai persoalan kehidupan maupun persoalan sosial, politik, dan kebudayan. Interaksi dan komunikasi antar etnik memberikan peluang untuk menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan dan mengembangkan sikap toleran dan pemahaman positif, dan mengurangi prasangka antar komunitas. Semua yang dialami tersebut pada dasarnya adalah bentuk soft skill yang kadang justru tidak dikembangkan dalam kuliah.
4.    Kelebihan - Kelebihan
Peluang untuk mengembangkan nilai-nilai ke-indonesiaan (sebagaimana yang di cita-citakan oleh Hamengku Buwono IX), belajar di Yogyakarta mendapat peluang belajar tentang Indonesia. Peluang untuk memperoleh acuan-acuan internasional dengan menggunakan jaringan ilmu dan pengetahuan internasional yang ada di Yogyakarta (tiap program studi memiliki peluang untuk mengembangkan akses jaringan ini).
Suasana akomodatif dan penuh toleransi memberikan jaminan suasana belajar yang kondusif. Interaksi yang dinamis antar mahasiswa dari berbagai bidang ilmu, memberi peluang untuk mematangkan wawasan berpikir dan meningkatkan kecakapan hidup. Interaksi yang positif dengan masyarakat Yogyakarta akan menumbuhkan nilai dan sikap kemasyarakatan yang positif. Ada banyak kiat mahasiswa untuk hidup efisien di Yogyakarta, tanpa harus mengurangi kualitas hidupnya.
5.    Kekurangan dan Ancaman
Ada banyak isu negatif yang berkembang tentang kehidupan mahasiswa di Yogyakarta yang menakutkan orang tua untuk mengirim anaknya ke Yogyakarta seperti: isu narkoba, isu kumpul kebo, isu mahalnya pendidikan, isu bahaya merapi dan gempa, dan berbagai isu negatif lainnya. Kekurangan yang segera terasa bagi mahasiswa dari luar adalah keterbatasan tempat tinggal, yang hanya dapat diperoleh melalui upaya yang cukup berat (memilih daerah yang baik, tidak mahal, dan cukup kondusif untuk belajar).
Ancaman kondisi lingkungan yang terletak di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, yang adakalanya diperberat karena pemahaman yang keliru tentang dua ancaman tersebut. Kecenderungan jumlah mahasiswa sejumlah perguruan tinggi yang menurun, yang dapat mengancam bangkrutnya perguruan tinggi yang bersangkutan.
6.    Solusi
Mengkaji dan mendalami akar peradaban kehidupan manusia di Yogyakarta yang berbasis pada kebudayaan, menemukan mutiara luhur yang dapat digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Membuka peluang kebersamaan antar institusi pendidikan dengan membentuk komite rekonstruksi pendidikan (KRP) DIY, untuk menumbuhkan semangat resource sharing fasilitas dan sumberdaya pendidikan dan efisiensi manajemen antar institusi pendidikan. Kredo yang digunakan KRP DIY adalah: sawiji (konsentrasi), greget (semangat), sengguh (percaya diri), ora mingkuh (tidak mundur). Menyusun strategi pengembalian citra DIY sebagai propinsi pendidikan, dengan KRP sebagai sumber inspirasi pengembangan pendidikan yang lebih baik, mengedepankan budaya “kita” lebih dari pada budaya “aku-kami”.  
Yogyakarta memiliki modal pendidikan yang menjadi kekuatan riil untuk mengembangkan mutu pendidikan yang lebih mantab dan sesuai dengan cita-cita proklamasi Bangsa Indonesia. Yogyakarta memiliki kapasitas secara obyektif untuk menyerap berbagai perkembangan ilmu mutakhir termasuk bioteknologi, dan berbagai implementasi ICT pada berbagai program pendidikan dan pelatihan. Yogyakarta memiliki akar budaya yang mampu mengakomodasi berbagai budaya lain melalui assimilasi, assosiasi, dan akulturisasi sebagai bentuk proteksi dinamis terhadap budaya lokal.

By : Makrus Rifai
The student of Yogyakarta State University

2 komentar: